Minggu, 31 Juli 2011

Selamat Menunaikan Ibada Puasa 2011 M

Buat para guru, tidak ada alasan untuk bermalas - malasan dalam mengajar dan mendidik, walaupun kondisi kita dalam berpuasa. Ini sudah komitmen, konsisten, konsekuensi kita dalam mencerdaskan anak bangsa. Kita sudah di gaji / bulan. Marilah kita tingkatkan cara mengajar, kita tingkatkan kualitas kita, kita tingkatkan ibadah kita. Mohon maaf ya, bukan menggurui hanya sekedar mengingatkan aja. makasih

Jumat, 29 Juli 2011

Perlu Anda Baca

Peraturan tentang PNS / dosen yang wajib anda ketahui.

http://www.ziddu.com/download/15863323/pp11tahun2002.pdf.html
http://www.ziddu.com/download/15863326/PP53-2010.pdf.html
http://www.ziddu.com/download/15863325/PP-no-37-2009-tentang-dosen.pdf.html

materi lesson study

silahkan di download
http://www.ziddu.com/download/15863006/LESSONSTUDYI.ppt.html

Sabtu, 09 Juli 2011

13 Penyakit GURU

Short message service (SMS) jelas merupakan sarana efektif bagi masyarakat untuk berkomunikasi. Segala jenis informasi bisa disebar hanya dalam hitungan menit, bahkan detik. Selain sebagai sumber berita, SMS juga dapat menjadi sumber belajar dan bahkan dari perspektif negatif, layanan ini juga dapat memberikan pengaruh dan citra buruk bagi sebuah tatanan, baik secara individu maupun kelompok. Beberapa berita atau isu soal gempa di Jakarta, ancaman terorisme, hingga bocornya soal-soal ujian nasional adalah di antara beberapa contoh betapa efektifnya penggunaan SMS.

Di Kota Bekasi (mungkin juga di kota-kota lainnya di Indonesia), khususnya dalam 2 minggu terakhir ini, merebak SMS dari satu guru ke guru lainnya tentang adanya "penyakit" di kalangan para pendekar pendidikan. Bunyi SMS ini memang terasa lucu dan sedikit mengada-ada, tapi dari segi substansi tampaknya kita tak bisa menganggap remeh isu penyakit guru ini. Gejala penyakit ini bahkan menjadi bahan diskusi yang cukup serius di lingkungan para guru, sambil di antaranya mereka mencoba mencocokkan jenis penyakit mana yang sudah ada dalam diri mereka masing-masing.

Inilah bunyi 13 penyakit guru versi SMS itu, yang jika penyakit itu diklasifikasi menjadi tiga jenis keterampilan (skill), yaitu kemampuan personal (kepribadian), metodologis, dan teknis. Pada aspek kemampuan kepribadian guru, penyakit yang disinyalir ada meliputi THT (tukang hitung transport), hipertensi (hiruk persoalkan tentang sertifikasi), kudis (kurang disiplin), dan asma (asal masuk). Banyak sekali dijumpai guru yang selalu berhitung soal pembagian transport dari dana BOS, kecurangan dalam hal proses sertififikasi, kurang disiplin dan masuk sembarangan hanya sekadar memenuhi absensi. Gejala ini sangat umum terjadi di lingkungan guru dan sekolah kita.

Diklasifikasi kedua, yaitu soal aspek metodologis, disinyalir guru bahkan memiliki lebih banyak penyakit. Jenis-jenis penyakitnya, antara lain salesma (sangat lemah sekali membaca), asam urat (asal mengajar, kurang akurat), kusta (kurang strategi), kurap (kurang persiapan), stroke (suka terlambat, rupanya kebiasaan), keram (kurang terampil), serta mual (mutu amat lemah). Aspek metodologis ini memang sangat terkait erat dengan faktor courage dan kesadaran untuk berkembang yang seharusnya dimiliki oleh seorang guru.

Sedangkan diklasifikasi ketiga yang menyangkut aspek keterampilan, penyakit guru disinyalir adalah TBC (tidak bisa computer) dan gaptek (gagap teknologi). Kita memang tak cukup punya bukti statistik, seberapa banyak sebenarnya jumlah guru yang sampai saat ini belum bisa dan mengerti soal komputer dan makna penting teknologi sebagai bagian dari pengembangan bahan ajar di kelas.

Merebaknya jenis-jenis penyakit di atas, meskipun disampaikan dengan cara dan tujuan untuk melucu, jelas memberi kita gambaran kondisi dan suasana batin para guru kita saat ini. Jika penyakit-penyakit tersebut memang benar adanya, kesalahan pertama harus kita tempakan kepada otoritas pendidikan kita yang salah dalam merumuskan kebijakan soal pengembangan kapasitas profesional guru. Guru seakan lupa pada rumusan dan definisi tentang pendidikan yang tertera dengan amat gamblang di dalam undang-undang sistem pendidikan nasional kita, yaitu sebagai sebuah "....usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara".

Kata "mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran" jelas merujuk dan menuntut para guru untuk kreatif dalam mengembangkan kerangka berpikir dan bahan ajar di sekolah. Karena itu sangat boleh jadi munculnya gejala penyakit seperti disinyalir di atas relevan dengan sistem pendidikan yang membelenggu akal untuk kreatif, terutama bentukan hierarki kurikulum yang rigid dan berorientasi semata pada dunia kerja.

Seorang pengembang masalah kreativitas di dunia pendidikan, Ken Robinson, mengatakan hampir dapat dipastikan seluruh sistem pendidikan di dunia menempatkan Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi (Sains) sebagai acuan utama tingkat keunggulan sebuah sekolah. Semakin banyak anak yang memiliki kemampuan Matematika dan Sains, semakin prestisiuslah sekolah tersebut. Sebab itu, bidang studi ini memperoleh jam yang begitu tinggi di sekolah, termasuk di antaranya di Indonesia.

Sekolah kita tak memiliki laboratorium seni dan musik yang cukup, juga perpustakaan yang mengoleksi buku-buku sastra yang memadai untuk menumbuhkan kreativitas anak untuk bergerak. Seluruh sekolah kita lebih banyak mengajarkan Matematika dan Sains yang hanya mengandalkan otak dan pikiran, tetapi tak memberi porsi yang cukup kepada anggota tubuh yang lain, seperti badan, tangan, dan kaki untuk bergerak. Berapa jam anak kita mengikuti pelajaran tari dan olahraga di sekolah dalam satu minggu, dan lebih banyak mana ketika anak-anak kita belajar Matematika dan Sains?

Kritik Ken Robinson sangat masuk akal sehingga dia mengatakan kebanyakan guru di sekolah saat ini menganggap bahwa badan, tangan, dan kaki mereka hanya sebagai alat transportasi kepala mereka yang penuh rumus dan terkadang membingungkan. Efek seperti ini dapat menjadikan seseorang mati rasa, antisosial, dan menjadi sangat arogan cara berpikir dan bertindaknya. Dalam rumus tak ditoleransi kesalahan. Padahal sebuah kesalahan, dalam teori belajar, merupakan awal dari sebuah kreativitas besar.

Sumber : klubguru.com

Menjadi guru yang bermutu

Semoga Sukses Ikatan Guru Indonesia (IGI) dari Pendidikan.Network. Semoga Bersama Kita Dapat Menuju Guru dan Pendidikan Yang Bermutu dan Mencapaikan Tujuan Bangsa Yang Cerdas.

Kami di Pendidikan.Network ingin membantu mengimplementasikan program pendidikan bermutu (dari KemDikNas) "Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM)," secara nasional. PAKEM sudah terbukti berhasil di ribuan sekolah di Indonesia tetapi sampai sekarang hanya dilaksanakan secara efektif di sebagian kecil sekolah kita karena jumlah SDM yang diperlui untuk melaksanakan pelatihan secara langsung di hampir 300.000 sekolah tidak terjangkau. Beberapa tantangan lagi adalah guru-guru kurang mengerti keuntungan dari prosesnya karena banyak guru sendiri kelihatannya belum mengalami pembelajaran-aktif maupun kontekstual waktu mereka belajar, jadi niat guru untuk merubah kelihatannya adalah rendah, sama rendah dengan kemampuan mereka untuk melaksanakan pembelajaran-aktif.

Cara kami untuk membantu melaksanakan perkembangan mutu pendidikan adalah oleh nemberdayakan guru-guru di lapangan dengan informasi yang tepat dan dapat dimanfaatkan secara langsung.

Program kami untuk meningkatkan mutu guru adalah berbasis keadaan di lapangan (dapat mulai di semua sekolah di seluruh daerah sekarang) maupun menggunakan strategi-strategi yang memengarah ke Guru Yang Profesional, yaitu Guru Yang Mau Bertanggungjawab dan Aktif untuk Meningkatkan Kemampuan dan Profesionalisme Sendiri (Guru Yang Dapat Mandiri - Meningkatkan Profesionalisme Secara Swadaya). Kalau guru kita tidak dapat mandiri, bagaimana kita dapat berharap pelajar kita dapat mandiri?

Di Indonesia kita mendorong konsep "Life-Long Learning", Apakah Guru Sendiri Tidak Dapat Belajar Secara Mandiri? Apakah ini masalah dengan mutu guru kita, atau masalah yang diulangkan terus karena mind-set dan paradigma Pelatih Guru kita? Siapa yang paling beruntung dari kegiatan-kegiatan pelatihan guru? Kalau kita menuju guru kreatif dan profesional, pelatih-pelatih guru kita juga harus sangat profesional (menganalisa dan mencari solusi-solusi yang lebih baik dan profesional) Mengapa kita terus melanjutkan strtategi-strategi yang gagal dan tidak mungkin dapat dilaksanakan secara rutinitas untuk semua guru kita?

Kami sudah menyaksikan bahwa pelatihan yang dilaksanakan di luar sekoloah (yang tidak mengkaitkan semua stakeholders) terus gagal karena itu kebudayaan sekolah yang seringkali menggagalakan rencana untuk perubahan. Menggunakan ICT dan Internet untuk pembelajaran secara nasional tidak rialistik, kan?, maupun mengancam mutu pendidikan kita, kan?. Internet sendiri dapat menambah tantangan dan tidak efektif menghadapi isu-isu penting terkait Pelajar Yang Cerdas, kan? Maupun kayaknya "Facebook Sebabkan Mahasiswa Malas dan Bodoh". Bagaimana Dengan Siswa-Siswi Sekolah?.

Website kami sebagai sumber informasi untuk membantu meningkatan pengertian terhadap isu-isu perkembangan guru, juga downloads kami sebagai salah satu strategi untuk menyampaikan bahan pembelajaran ke Guru Pembina Perkembangan Sekolah (guru yang sudah cukup berpengalaman dengan Pembelajaran-Aktif). Kita tidak menggunakan ICT dalam proses pembelajaran karena proses meningkatkan mutu guru perlu pembelajaran-aktif, yang hanya dapat dilaksanakan oleh guru. Bahan kami dimanfaatkan oleh guru pembina untuk melaksanakan program perkembangan mutu pendidikan dengan semua guru yang mau berpartisipasi. Untuk sekolah yang belum dapat mengakses Internet (atau belum ada listrik :-) bahan-bahan dapat disampaikan lewat pos biasa.
Teknologi Canggih Hanya Sebagai Distraksi Dari Isu Yang Betul Penting - Metodologi!

Kami mendukung Program Peningkatan Mutu Berbasis-Sekolah yang sangat Rialistik, Terjangkau dan Menuju Profesionalisme (Perkembangan Mutu Tanpa Batas).

Dengan strategi begini kita dapat memanfaatkan teknologi secara efisien dan efektif, dan tidak mengancam kreativitas yang terkait dengan metodologi e-Learning atau Multi-Media-Based Learning, maupun tidak membuang waktu guru, guru-nya tidak terpaksa mengakses atau mendownload bahan secara masing-masing (atau belajar online). Metodologi ini juga sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran aktif (Di-Implementasikan Secara Aktif).

Di Indonesia, pada umum, kita sudah lama mengutamakan pengetahuan, yang dipercaya adalah indikator kecerdasan bangsa. Tetapi selama beberapa tahun terakhir ini kami sudah terpaksa menghadapi beberapa isu yang mengancam perkembangan negara kita termasuk Jumlah Pengangguran, Lulusan Kita Kurang Kreatif, Inovatif, dan Tidal dapat Mandiri, dan isu-isu seperti Moral dan Karakter Bangsa - yang hanya dapat diatasi oleh pendidikan yang Holistik, Relevan dan Berarti.

Kita sudah membaca banyak informasi dari luar negeri mengenai konsep "Knowledge-Based" Society yang diterjemahkan menjadi Society "yang Berbasis-Pengetahuan". Tetapi pengetahuan saja, tanpa pikiran kritis, kemampuan analisis, sintesis, inovasi, dan kreativitas, dll. yang dikembangkan oleh pendidikan yang bermutu jelas tidak dapat mencapaikan bangsa yang cerdas.

Kita kayaknya tidak memperhatikan faktor utama di negara-negara lain yang mendukung konsep "Knowledge-Based Society", yaitu, mereka terus melaksanakan metodologi pembelajaran yang mengajak dan mengembangkan bangsa yang cerdas dan mampu menggunakan "knowledge" secara efektif, yaitu "Pembelajaran-Aktif dan Kontekstual" (PAKEM), yang adalah fondasi perkembangan SDM (manusia yang berkualitas, yang diberdayakan oleh pendidikan yang "Holistik dan Relevan").

Kita sudah puluhan tahun menyaksikan bahwa program-program berbasis pelatihan guru di luar sekolah-nya gagal meningkatkan kemampuan guru secara signifikan (sampai mutu pendidikan kita sudah menjadi krisis). Mengapa begini? Isu utama adalah motivasi guru untuk ikut program-program pelatihan begini (pada umum) adalah ekstrinsik (misalnya tinggal di hotel mewah, makanan disediakan, juga insentif eksrinsik yang lain-lain), bukan motivasi yang intrinsik yang mengutamakan profesionalisme. Juga seringkali guru-guru yang ikut kegiatan di luar sekolah bukan guru yang terbaik atau mampu utuk mengimplementsikan perubahan (Change) dan gagal.

Isu kedua adalah kebudayaan di sekolah guru-nya sendiri yang seringkali tidak mendukung perubahan (kemajuan), jadi setelah program pelatihan sudah selesai mereka kembali ke sekolahnya dan terus melaksanakan pembelajaran sesuai kebudayaan sekolah (tanpa kemajuan).

Kami sangat mengerti bahwa "kita dapat mengantar kuda ke sungai, tetapi kita tidak dapat memaksakan kuda-nya minum". Jadi supaya kita adalah hemat dan efisien anggaran dan SDM kita, kita akan terfokus kepada sekolah-sekolah yang ingin mengarah ke Sekolah Berstatus "Sekolah Berkualitas".

Dan karena tantangan yang sangat penting seringkali adalah kebudayaan sekolah yang melawan perubahan, kita juga meminta persetujuan dan dukungan oleh Kepala Sekolah di sekolah masing-masing sebelum kita akan membagi SDM ke sekolah-sekolah.

Semua guru di seluruh Indonesia dapat ikut melaksanakan program kami karena program kami adalah Berbasis-Swadaya, program-nya berlangkah-langkah (sederhana), dan dapat diakses oleh Internet di warnet saja atau dapat dikirim lewat pos. Tetapi kami tidak dapat menjaminkan bantuan oleh SDM kami kepada sekolah yang tidak memberi komitmen bahwa mereka ingin maju dan siap merubah.

Kami adalah sangat konsern dengan perkembangan SDM bangsa kita dan kemajuan negara, dan kepercayaan kami sangat didukung oleh saran Wakil Menteri Pendidikan Nasional Profesor Fasli Jalal....

sumber: gurubermutu.com

ziddu.com